Rasulullah SAW menghadapi ujian
berat dalam dakwahnya pada tahun ke-10 kenabian,. Setelah kehilangan
dua pendukung utama, istrinya, Sayyidah Khadijah RA, dan pamannya, Abu
Thalib, beliau mengalami tekanan yang semakin besar dari kaum Quraisy.
Sebagai
bagian dari strategi dakwah, Rasulullah SAW berangkat ke Thaif untuk
mencari dukungan. Namun, bukan hanya ditolak, beliau juga diusir dan
dilempari batu oleh penduduk Thaif hingga tubuh beliau terluka. Dalam
keadaan terluka dan lelah, Rasulullah berdoa kepada Allah SWT dengan
penuh ketundukan, memohon petunjuk dan perlindungan-Nya.
Setelah
kembali ke Mekah, Rasulullah tidak patah semangat. Beliau melanjutkan
dakwahnya, mencari cara untuk menyebarkan Islam dengan lebih luas.
Tradisi Haji Kaum Quraisy
Kaum
Quraisy dan suku-suku Arab lainnya setiap tahun datang ke Mekah
melaksanakan ibadah haji. Mereka mengklaim mengikuti ajaran Nabi Ibrahim
AS, namun praktiknya telah menyimpang jauh dari ajaran tauhid.
Beberapa
penyimpangan yang terjadi antara lain, menyembah berhala yang mereka
letakkan di sekitar Ka’bah, bertawaf dalam keadaan telanjang dengan
alasan kesucian, serta menganggap air zamzam sebagai media keberuntungan
tanpa memahami makna spiritualnya.
Melihat
kondisi ini, Rasulullah SAW memanfaatkan momentum musim haji untuk
berdakwah kepada para jamaah yang datang dari berbagai wilayah. Namun,
mayoritas tetap menolak ajakan beliau, meskipun ada segelintir orang
yang menerima.
Sambutan Penduduk Yatsrib
Di
tengah penolakan Quraisy, datang sekelompok kecil orang dari Yatsrib
(kini Madinah) yang menerima dakwah Rasulullah SAW. Mereka berasal dari
suku Khazraj, yang datang ke Mekah untuk menunaikan haji. Dari mereka,
tiga orang menyatakan keislaman setelah mendengar ajaran Rasulullah.
Pada
tahun ke-11 kenabian, jumlah mereka bertambah menjadi 6 orang. Tahun
ke-12, meningkat menjadi 12 orang, yang kemudian dikenal sebagai baiat
aqabah pertama. Pada tahun ke-13 kenabian, jumlah Muslim dari Yatsrib
bertambah menjadi 70 orang, dan mereka mengadakan baiat aqabah kedua,
yang menjadi dasar bagi hijrah Rasulullah ke Madinah.
Peran Abu Dzar Al-Ghifari
Di
sisi lain, Abu Dzar al-Ghifari, seorang pencari kebenaran dari suku
Ghifar, mendengar kabar tentang dakwah Rasulullah SAW. Dia mengutus
saudaranya untuk menemui Rasulullah dan belajar Islam. Setelah
mendapatkan pemahaman, Abu Dzar pun mendatangi Rasulullah sendiri,
menyatakan keimanannya, dan kemudian kembali ke kaumnya untuk
menyebarkan Islam.
Faktor yang Mendorong Hijrah
Islam
berkembang pesat di Yatsrib karena beberapa faktor, antara lain,
penduduknya telah terbiasa hidup dalam sistem kepemimpinan yang lebih
demokratis dibandingkan Quraisy. Adanya konflik antara suku Aus dan
Khazraj, sehingga mereka mencari pemimpin yang dapat menyatukan mereka.
Faktor lainnya, para pemeluk Islam dari Yatsrib menyadari bahwa ajaran
Islam membawa keadilan dan perdamaian.
Ketika
jumlah Muslim di Yatsrib mencapai 70 orang, mereka meminta Rasulullah
SAW untuk hijrah ke sana dan menjadi pemimpin mereka.
Pernikahan dengan Sayyidah Khadijah
Sebelum
diangkat menjadi nabi, Rasulullah SAW menikah dengan Sayyidah Khadijah
pada usia 25 tahun, sedangkan Khadijah saat itu berusia 40 tahun.
Pernikahan ini berlangsung selama 25 tahun hingga Khadijah wafat.
Rasulullah sangat mencintai Khadijah dan tidak menikah dengan wanita
lain selama beliau masih hidup. Mahar pernikahan mereka adalah 20 ekor
unta betina muda.
Pernikahan Setelah Wafatnya Khadijah
Setelah
wafatnya Khadijah, seorang perempuan datang sebagai perantara (mak
comblang) dan bertanya apakah Rasulullah ingin menikah lagi. Rasulullah
diberi dua pilihan, pertama, janda: Sayyidah Saudah binti Zam’ah,
seorang wanita salehah yang telah masuk Islam. Kedua, perawan: Sayyidah
Aisyah binti Abu Bakar, putri sahabat dekat Rasulullah.
Rasulullah
memilih Sayyidah Saudah terlebih dahulu, meskipun usia mereka terpaut
sekitar 20 tahun. Mahar pernikahan mereka adalah 400 dirham (1 dirham = ±
4,5 gram perak). Pernikahan ini menunjukkan bahwa Rasulullah tidak
menikah karena nafsu, tetapi untuk memberikan perlindungan kepada Saudah
setelah ditinggal wafat oleh suaminya.
Pertunangan Rasulullah dengan Aisyah
Kemudian,
Malaikat Jibril menyampaikan wahyu bahwa Aisyah adalah jodoh yang telah
ditentukan Allah SWT untuk Rasulullah. Rasulullah pun menghubungi
kembali mak comblang untuk melamar Aisyah.
Sebelum
lamaran Rasulullah, Aisyah telah dijodohkan dengan seorang pemuda dari
keluarga Quraisy yang belum masuk Islam. Ketika lamaran Rasulullah
datang, ibu dari pemuda tersebut menolak pernikahan mereka dengan alasan
perbedaan agama.
Pernikahan Rasulullah dengan Aisyah
Rasulullah
menikahi Aisyah saat berusia 6 tahun, tetapi baru hidup bersama sebagai
suami istri ketika Aisyah berusia 9 tahun. Ini kali pertama Rasulullah
berpoligami setelah sebelumnya hanya menikah dengan Khadijah.
Kebiasaan Pernikahan di Zaman Quraisy
Pada
masa itu, pernikahan di usia muda hal yang lazim dalam masyarakat Arab.
Selain itu, sebelum adanya perjanjian Hudaibiyah, pernikahan antara
Muslim dan non-Muslim masih diperbolehkan. Setelah perjanjian itu, Islam
melarang pernikahan antara Muslim dan non-Muslim, sebagaimana
disebutkan dalam Al-Quran: Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita mukmin) sebelum mereka beriman... (QS.
Al-Baqarah: 221)
Penutup
Kita
semua dapat mengambil pelajaran dari perjuangan Rasulullah SAW,
khususnya dalam keteguhan beliau menyebarkan Islam meskipun menghadapi
berbagai tantangan. Semoga kita dapat meneladani akhlak dan perjuangan
beliau dalam kehidupan sehari-hari.
(Dirangkum
oleh Sayed Muhammad Husen dan Darmawan Abidin dari dari ceramah subuh di
Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Minggu, 23 Februari 2025)